“Ketika Musik Jadi Kurikulum: Kecelakaan Pendidikan di Usia Dini”
Di balik warna-warni ruangan PAUD, boneka lucu, dan suara tawa anak-anak, tersimpan kecelakaan pendidikan yang nyaris tak disadari.
Musik, yang diputar keras-keras lewat speaker dan dipakai untuk “mengajar” anak-anak bergerak, telah menjadi metode yang populer.
Anak usia 3–5 tahun—yang seharusnya sedang membangun kesadaran ruhani paling dasar—malah dimasukkan ke dalam dunia adiktif yang sangat berisiko.
Apa yang Salah? Bukankah Musik Itu Menyenangkan?
Ya, menyenangkan. Tapi bukan semua yang menyenangkan itu menyehatkan.
Dan bukan semua yang disenangi anak itu mendidik jiwa mereka.
Musik, apalagi yang berirama cepat dan diputar keras:
- Merangsang hormon dopamine secara instan
- Mengarahkan tubuh untuk mengikuti irama (bukan akal yang mengontrol tubuh)
- Menanamkan kebiasaan “ikut arus” sejak dini
Anak-anak tidak lagi belajar mengatur diri. Mereka belajar untuk dikendalikan oleh irama.
Jika hal ini terus berlangsung, maka:
- Anak akan tumbuh dengan ketergantungan pada rangsangan eksternal
- Mereka akan sulit tenang dalam sunyi
- Mereka akan lebih menyukai gerak tanpa makna daripada duduk tenang merenung
- Jiwa mereka rapuh terhadap kebisingan dunia
Adiksi Sejak Dini: Musibah Besar yang Tidak Terlihat
Inilah bencana halus yang tidak disadari banyak orang tua:
Anak-anak hari ini diseret masuk ke dunia adiktif, lewat pintu yang disebut “kegiatan belajar yang menyenangkan”.
Sementara yang hilang:
- Latihan mengenal Tuhan
- Latihan mengatur emosi
- Latihan mendengar dengan hati
- Latihan duduk tenang menyimak hikmah
Mereka diganti dengan gerakan cepat, suara keras, dan irama menggoda.
Akhirnya, anak menjadi pecandu gerakan, bukan pencari kebenaran.
Pendidikan Ruhani yang Dihilangkan
Usia 3–5 tahun adalah masa emas penanaman nilai spiritual:
- Menumbuhkan rasa malu
- Menanamkan kepekaan batin
- Mengajarkan adab dan tunduk
- Mengarahkan hati pada keindahan dzikir
Tapi ketika masa emas ini dipenuhi dengan musik keras dan gerak tanpa kendali,
apa yang tersisa untuk pondasi ruhani mereka?
Musik bisa jadi sarana. Tapi jika ia menggeser dzikir dari hati, dan mengganti ketenangan dengan histeria, maka ia telah menjadi alat penghancur jiwa kecil yang suci.
Solusi: Pendidikan Hening yang Membentuk Jiwa
Apa yang lebih baik?
- Gunakan lagu-lagu lembut penuh nilai ruhani, bukan irama liar.
- Ajak anak mengenal suara alam, tilawah Al-Qur’an, nasyid polos tanpa alat.
- Latih anak menikmati sunyi dan hening—karena dari situlah rasa cinta kepada Allah tumbuh.
- Bentuk kepekaan ruhani, bukan kepekaan pada beat.
Jika anak sejak kecil sudah terbiasa “tenang dalam ribut”, maka saat dewasa dia akan gelisah dalam sunyi.
Padahal, Allah paling mudah ditemui di dalam kesunyian yang hening.
Penutup: Waspadai Gerakan yang Menghapus Kesadaran
Kita tidak menolak musik secara total.
Tapi menolak ketergantungan terhadap musik yang melalaikan, apalagi pada usia yang sangat rentan, adalah kewajiban moral dan spiritual.
Pendidikan adalah tentang membentuk arah jiwa, bukan sekadar membuat anak gembira dan ramai.
Karena hidup ini bukan panggung hiburan, tapi perjalanan menuju Tuhan.
Mari benahi pendidikan anak-anak kita—bukan dengan membesarkan suara musiknya,
tapi dengan menumbuhkan suara hati mereka.
By: Andik Irawan